Beli
Gincu dapat Apel ? Apakah merupakan sebuah musibah atau anugerah ?
Simak kisah nyata yang pernah saya alami dan petik manfaatnya sebagai
tambahan motivitamin bagi kehidupan anda.
Sekitar
4 tahun yang lalu saya membeli sebuah pohon mangga cangkokan dengan
harga yang cukup tinggi. Saya menanamnya ditengah halaman depan rumah
saya. Saya membeli pohon mangga jenis Gedong Gincu asal Indramayu yang
terkenal dengan rasa manisnya yang khas dan warnanya yang merah
mencolok seperti gincu atau pemerah bibir (lipstick). Mangga jenis ini
harganya relatif paling mahal dibandingkan dengan jenis mangga lokal
lainnya, bisa mencapai Rp. 25.000 sampai 40.000,- per kilogramnya.
Pada
bulan-bulan pertama pohon ini tumbuh subur tetapi tidak berbuah, hanya
berdaun sangat lebat. Teman-teman dan saudara-saudara saya saat
berkunjung ke rumah saya melihat pohon itu dan berkomentar bahwa pohon
itu tidak akan berbuah. Mereka juga bercerita bahwa mereka telah sering
membeli pohon mangga cangkokan walau puntelah berbuah
saat di beli tetapi tidak pernah berbuah lagi setelah ditanam di rumah.
Hanya berdaun lebat saja sampai bertahun-tahun. "Sebaiknya ditebang
saja, diganti pohon lain yang mudah berbuah", kata mereka.
Setelah
ditunggu dengan kesabaran selama setahun, ternyata pohon itu mulai
berbunga dan berbuah. Saya merasa sangat berbahagia dan mulai timbul
suatu harapan.
Tetapi
kemudian saya merasa sangat kecewa setelah mengetahui bahwa saya telah
dibohongi oleh penjual pohon mangga. Ternyata pohon yang telah saya
tanam bukan pohon mangga Gedong Gincu, tetapi pohon mangga Gedong Apel
yang buahnya berbentuk bulat seperti buah Apel. Mangga Gedong Apel ini
memang mirip seperti mangga Gedong Gincu. Yang membedakan adalah rasa
buahnya yang masam kecut, serat buahnya yang lebih halus, dan bentuknya
lebih bulat seperti buah apel. Pupus sudah harapan saya memiliki pohon
mangga Gedong Gincu. Perasaan sangat kesal dan kecewa timbul dalam hati
saya.
Ingin
rasanya saya marah-marah dan memaki-maki penjual pohon mangga yang
sekarang entah berada di mana. Mengingat saya telah selama setahun
merawat pohon mangga tersebut dengan penuh perhatian, memberinya pupuk,
menyiraminya, dengan harapan memiliki pohon berbuah mangga Gedong Gincu
yang menjadi buah favorit saya.
Sempat
terpikir untuk menebang pohon itu dan menggantinya dengan pohon buah
yang lain. Tetapi kemudian saya berpikir bahwa hal ini terjadi bukan
karena kesalahan pohon mangga tersebut. Dia juga makhluk hidup yang
ingin tumbuh dan berkembang. Kasihan kalau ditebang.
Mungkin sebagian akan orang berpikir, "Pohon mangga saja kok dikasihani ?".Tetapi
itulah diri saya, senang mengasihi, termasuk kepada binatang mau pun
tanaman. Apakah mungkin karena saya diberi nama Victor Asih, ya ? "Nama
yang agak aneh", kata beberapa orang yang bingung menebak apakah ini
adalah nama pria atau wanita. Mungkin harapan orang tua saya, yang
memberi nama itu, adalah supaya kelak saya menjadi orang yang penuh
welas asih terhadap semua makhluk hidup ?
Anyway,
akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan pohon mangga itu tetap tumbuh
subur di tengah halaman depan rumah. Saya juga tetap merawatnya dengan
baik. Saya tetap memberinya pupuk, menyiraminya, dan terkadang
menyiraminya dengan sisa air minum susu yang tidak dihabiskan oleh
putri kecil saya yang cantik dan lucu.
Akhirnya
saya hanya menikmati indahnya buah-buah mangga Gedong Apel yang
berwarna merah mencolok seperti gincu dan berbentuk seperti apel
bergelantungan di pohon. Begitu indah dilihat, bisa meredakan stress
dan terlihat menggiurkan untuk dipetik dan disantap. Tetapi buah
tersebut tidak pernah saya petik, karena saya pernah merasakan masam
kecutnya mangga masak yang saya petik. Untuk dibuat rujak pun rasanya
masih terlalu masam.
Sampai
pada suatu saat, buah-buah mangga Gedong Apel itu berjatuhan sendiri
karena sudah terlalu matang di pohon. Saya mengambil buah-buah mangga
yang berjatuhan dan menyimpannya di lemari pendingin. Buah mangga itu
saya berikan pada siapa pun yang mau menerimanya.
Suatu
saat saya terkejut pada saat mengetahui bahwa orang-orang yang memakan
buah mangga tersebut berkata bahwa mangganya sangat manis sekali dan
begitu enak sekali rasanya. Rasanya sangat unik dan lezat. Saya lalu
merasa penasaran mencobanya sendiri. Ternyata memang benar! Rasanya
sangat manis lezat, jauh lebih enak daripada mangga Gedong Gincu yang
biasa saya makan.
Tetapi
anehnya, kalau buah mangga yang dipetik sewaktu masih bergelantungan di
pohon terasa masam kecut walau pun sudah masak kuning kemerahan. Tetapi
kalau buah mangga yang terjatuh sendiri karena terlalu masak di pohon
terasa sangat manis dan lembut daging buahnya.
Sekarang
saya menunggu buah mangga terjatuh dengan sendirinya untuk dapat
menyantap buah mangga yang lezat dari pohon itu. Untungnya, pohon itu
berbuah lebat, sehingga saya tidak harus menunggu lama pasti selalu ada
yang terjatuh karena telah terlalu masak.
Sekarang
pohon itu membuat halaman rumah saya semakin teduh. Dia berbuah lebat
walau pohonnya tidak besar dan tingginya pun hanya sekitar 3 meter
saja. Tiap saat selalu berbunga dan berbuah terus menerus sepanjang
tahun tidak mengenal musim.
Melalui
jendela ruang kerja saya, saya bisa merasakan keteduhan menatap pohon
mangga sambil mengetik artikel ini di komputer notebook saya. Buah-buah
mangga cantik yang bergantungan merupakan pemandangan indah yang
menyenangkan hati saya. Saya bersyukur karena dahulu saya tidak
menebang pohon mangga tersebut pada saat saya merasa kecewa dengan
buahnya.
Saya
mengambil suatu pelajaran berharga dari apa yang telah saya alami,
bahwa "Semua akan menjadi indah tepat pada waktunya jika kita selalu
berusaha memberi yg terbaik". Seperti buah mangga Gedong Apel tadi yang
menjadi sangat manis dan lezat tepat pada waktunya setelah menjadi
masak dan terjatuh dari pohonnya.
Mungkin
saja saat ini anda sedang mengalami persoalan hidup yang membuat anda
kecewa dan sakit hati karena tidak sesuai dengan harapan anda. Tetapi
tetaplah berusaha memberikan yang terbaik dan jangan melihat hasil saat
ini, maka semua akan menjadi indah tepat pada waktunya. Semua bisa
berubah. Apa yang kita tabur akan kita tuai. Apa yang telah kita
"tanam" tidak akan menjadi sia-sia asalkan kita mau bertekun dalam
memberi yang terbaik.
[Victor
Asih, Founder Sekolah Bisnis Gratis USB, Mentor, Entrepreneur,
Inspirator, Motivator, Software Engineer, Information Technology
Consultant, Kolumnis, Penulis Buku Unik Bestseller "8 Langkah Ajaib
Menuju ke Langit"]
Penulis bisa dihubungi melalui email victorasih@yahoo.co.id atau website www.usbschool.com atau blog usbschool.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar